Heboh Muncul Fenomena Dedolarisasi hingga Aksi ‘Jauhi’ AS

BROOKLYN CENTER, MINNESOTA - APRIL 16: An partially-burned American flag lays on the ground during a protest outside the Brooklyn Center police station on April 16, 2021 in Brooklyn Center, Minnesota. This is the sixth day of protests in the suburban Minneapolis city following the fatal shooting of 20-year-old Daunte Wright by Brooklyn Center police officer Kimberly Potter, who has since resigned from the force and been charged with second-degree manslaughter for the shooting.   Scott Olson/Getty Images/AFP (Photo by SCOTT OLSON / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)

Posisi Amerika Serikat (AS) yang digadang-gadang memegang hegemoni dunia mulai terancam. Hal ini terlihat dari beberapa negara yang mulai tak patuh dengan Negeri Paman Sam, utamanya setelah serangan Rusia ke Ukraina.
Di bidang ekonomi, negara-negara dunia mulai berpikir untuk mengurangi penggunaan dolar AS dalam perdagangannya. Isu ini mulai didengungkan dalam aliansi dagang BRICS, yang dua anggotanya merupakan rival Washington yakni China dan Rusia, sementara sisanya merupakan Brasil, India, dan Afrika Selatan.

Sebuah laporan mengindikasikan bahwa mata uang baru aliansi ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang.

Sebenarnya, keinginan penggunaan mata uang lain di BRICS sudah tercetus sejak 2009. Dalam pertemuan pada Juni 2009, pemimpin negara anggota ingin menambah pengaruh di ekonomi dunia.

Namun, implementasi mata uang BRICS belum terealisasi hingga kini. Kemudian, sanksi Barat yang diberikan ke Rusia pascaserangan ke Ukraina membuat Moskow mencetuskan kembali isu ini pada 2023.

Pada akhir Maret, Presiden Rusia Vladimir Putin mengadopsi kebijakan luar negeri baru yang menempatkan India dan China di garis depan. Pengumuman itu muncul hanya beberapa hari setelah Presiden China Xi Jinping mengunjungi Moskow untuk lebih memperkuat kemitraan pada Maret.

Selain BRICS, negara berikutnya yang tertarik untuk mengurangi ketergantungan dolarnya adalah Arab Saudi. Di 2022, beredar kabar bahwa Riyadh sedang dalam pembicaraan aktif dengan China terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak.

The Wall Street Journal menulis, pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan dengan Beijing kian gencar.

“Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya,” tulis media itu mengutip sumber kala itu.

“Para pejabat Arab Saudi mengatakan mereka terkejut dengan penarikan mendadak AS dari Afghanistan tahun lalu,” tambahnya.

Kian Lemah dalam Politik Global

Selain ekonomi dan keuangan, posisi AS pun mulai dilupakan oleh beberapa negara, termasuk mitranya sendiri. Terbaru, Presiden Prancis Emmanuel Macron terbang ke Beijing, China, dan tak lama setelahnya, meminta Benua Biru untuk melepaskan ketergantungan terhadap pengaruh AS.

Dalam perjalanan pulang usai bertemu selama enam jam dengan Presiden China Xi Jinping, Macron menekankan teori “otonomi strategis” untuk Eropa, yang mungkin dipimpin oleh Prancis, untuk menjadi negara adikuasa ketiga.

Dilansir Politico, Minggu (9/4/2023), dia mengatakan risiko besar yang dihadapi Eropa adalah “terjebak dalam krisis yang bukan milik kita, yang mencegahnya membangun otonomi strategisnya.”

Xi Jinping dan Partai Komunis China pun mendukung konsep otonomi strategis Macron dan pejabat Beijing terus-menerus merujuknya dalam urusan mereka dengan negara-negara Eropa.

Para pemimpin partai dan ahli teori di Beijing yakin Barat sedang mengalami kemunduran dan China sedang naik daun dan melemahnya hubungan transatlantik akan membantu mempercepat tren ini.

“Paradoksnya adalah, diliputi kepanikan, kami yakin kami hanyalah pengikut Amerika,” kata Macron.

“Pertanyaan yang perlu dijawab oleh orang Eropa… apakah kepentingan kita untuk mempercepat [krisis] di Taiwan? Tidak. Hal yang lebih buruk adalah berpikir bahwa kita orang Eropa harus menjadi pengikut topik ini dan mengambil petunjuk dari agenda AS dan reaksi berlebihan China,” katanya.

Sementara itu, Saudi lagi-lagi melupakan AS dalam negosiasi damainya dengan dua musuh AS di Timur Tengah, Iran dan Suriah.

Sebuah laporan menyebut Direktur CIA Bill Burns telah menyampaikan kepada Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) bahwa AS merasa ‘dibutakan’ oleh pemulihan hubungan kerajaan dengan Iran dan sekutunya Suriah.

“Washington merasa frustasi karena tidak dilibatkan dalam perkembangan regional dan akibatnya merasa dikesampingkan,” ujar seorang sumber menggambarkan terkait pertemuan Burns dengan MBS dikutip Middle East Monitor, Senin, (10/4/2023).

Riyadh dan Teheran bulan lalu setuju untuk membangun kembali hubungan diplomatik penuh setelah sekitar delapan tahun terputus. Normalisasi ini ditengahi oleh China, yang oleh banyak komunitas internasional dilihat sebagai pukulan terhadap hegemoni AS di Timur Tengah dan dunia.

Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran China, daripada pembukaan kembali kedutaan setelah enam tahun di Riyadh dan Teheran, adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut.

“Ini akan ditafsirkan, mungkin secara akurat , sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa China adalah kekuatan yang sedang naik daun,” kata Feltman, yang juga seorang peneliti di Brookings Institution, kepada Reuters.

Ada juga indikasi bahwa Arab Saudi sedang bersiap untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Suriah Bashar Al Assad, yang juga akan bertentangan dengan sikap kebijakan luar negeri utama Amerika di wilayah tersebut.

Sinyal terkait hal ini semakin kuat setelah MBS berencana untuk mengundang Presiden Suriah Bashar Al Assad untuk datang ke Saudi pada Mei mendatang untuk menghadiri pertemuan Liga Arab.

Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan akan melakukan perjalanan ke Damaskus dalam beberapa minggu mendatang untuk menyerahkan undangan resmi kepada Assad agar dapat menghadiri pertemuan puncak yang dijadwalkan pada 19 Mei mendatang itu.

Juru Bicara Sekretaris Jenderal Liga Arab, Gamal Roshdy, mengatakan organisasi itu tidak mengetahui setiap langkah di tingkat bilateral antara negara-negara Arab.

“Kami tidak seharusnya diberitahu sebelumnya tentang dugaan kunjungan itu,” tambahnya kepada Reuters.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*