Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup cerah bergairah pada perdagangan Selasa (11/4/2023), di tengah optimisme pasar bahwa ekonomi Asia dapat bertahan menghadapi resesi dari Negara Barat.
Hanya indeks Shanghai Composite China yang ditutup di zona merah pada hari ini. Itupun juga turun tipis yakni 0,05% ke posisi 3.313,57.
Sedangkan sisanya ditutup di zona hijau. Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melesat 1,05% ke posisi 27.923,4, Hang Seng Hong Kong menguat 0,76% ke 20.485,24, Straits Times Singapura naik 0,1% ke 3.297,83, ASX 200 Australia melonjak 1,26% ke 7.309,9, KOSPI Korea Selatan melompat 1,42% ke 2.547,86, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terapresiasi 0,59% menjadi 6.811,31.
Dari China, inflasi pada periode Maret 2023 tercatat lebih rendah dari periode Februari 2023 dan lebih baik dari ekspektasi pasar. Inflasi di tingkat konsumen (consumer price index/CPI) bulan lalu turun menjadi 0,7% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Angka ini menjadi yang terendah dalam setahun terakhir dan lebih rendah dibandingkan dengan data bulan Februari dan konsensus pasar sebesar 1,0%.
Angka ini juga menjadi yang terendah sejak September 2021. Penurunan ini didorong karena biaya makanan dan non-makanan semakin menurun akibat pemulihan ekonomi yang tidak merata setelah penghapusan kebijakan nol-Covid.
Namun secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI China pada bulan lalu naik menjadi minus 0,3%, dari sebelumnya pada Februari lalu sebesar minus 0,5%.
Ini menjadi sinyal bagus pemulihan ekonomi China setelah setahun terakhir harus tertekan karena kebijakan nol-Covid. Sebelumnya, pemerintah China menetapkan target pertumbuhan 2023 untuk ekonominya sekitar 5%, lebih rendah dari target tahun lalu sebesar 5,5%.
Hal ini pun memberikan ruang bagi bank sentral (People Bank of China/PBoC) untuk kembali melonggarkan kebijakan dan merangsang ekonomi.
Sementara itu dari Korea Selatan, bank sentral (Bank of Korea/BoK) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,5%, sesuai dengan ekspektasi pasar sebelumnya.
Korea Selatan bergabung dengan Australia dan India dalam menghentikan siklus pengetatannya di tengah lingkungan inflasi global karena bank sentral utama lainnya masih terlihat mempertahankan sikap hawkish-nya.
Di lain sisi, pelaku pasar di Asia-Pasifik cenderung tidak khawatir terhadap potensi resesi yang akan terjadi di Amerika Serikat (AS). Pasalnya, ekonomi Asia-Pasifik cenderung lebih kuat untuk menahan sentimen negatif dari Negara Barat.
Saat ini, pasar saham Negeri Paman Sam sedang volatil dan investor masih cenderung wait and see menanti rilis data inflasi terbaru dan pernyataan ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terkait suku bunga, sembari mencerna adanya data pasar tenaga kerja.
Data ketenagakerjaan pada Maret yang dirilis Jumat pekan lalu menunjukkan ekonomi AS yang tangguh, membuat investor melihat potensi The Fed akan mengerek lagi suku bunga pada rapat Mei.
Data tenaga kerja nonfarm payrolls (NFP), misalnya, tumbuh sebesar 236.000 selama Maret, sejalan dengan estimasi Dow Jones sebesar 238.000, atau turun menjadi 3,5%, bertentangan dengan ekspektasi yang diproyeksi bertahan dari bulan sebelumnya di 3,6%.
Pekan ini, investor berada disibukkan dengan sejumlah data ekonomi, termasuk data indeks harga konsumen (inflasi) terbaru dan indeks harga produsen (PPI) yang masing-masing akan dirilis pada hari Rabu dan Kamis.
Data-data tersebut akan menjadi kunci dalam menentukan apakah atau kapan Fed akan berhenti atau mengakhiri kebijakan suku bunga tingginya.
“Dugaan kami adalah pasar saham membutuhkan Goldilocks ekonomi, sedikit perlambatan demi terus mendinginkan ekspektasi inflasi, tetapi tidak terlalu banyak memicu ketakutan ‘hard landing’,” jelas Raymond James dari Tavis C. McCo.