Fenomena Ramai Negara “Jauhi” AS: Runtuh 2030, Ada Raja Baru

Bendera Amerika Serikat berkibar setengah tiang di US Capitol di Washington, DC, Kamis (8/9/2022) setelah meninggalnya Ratu Elizabeth II dari Inggris. (Photo by OLIVIER DOULIERY/AFP via Getty Images)

Amerika Serikat (AS) kini mulai “dijauhi” sejumlah negara. Ini terlihat dari mata uang, dedolarisasi, hingga trend pergaulan global.

Dari sisi mata uang, upaya ‘membuang’ dolar AS dilakukan sejumlah pihak. Di antaranya negara-negara yang bergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan).

Sebuah laporan media India akhir Maret, Livemint, mengindikasikan bahwa mata uang baru aliansi ini akan diamankan dengan emas dan komoditas lain, termasuk elemen tanah jarang. Sanksi barat ke Rusia membuat Kremlin mendesak hal tersebut ke kelompok tersebut.

Tak hanya BRICS, Arab Saudi juga sempat dilaporkan Wall Street Journal akan menggunakan yuan sebagai mata uang dalam perdagangan minyak dengan China. Dari petrodolar, alat tukar akan berganti petroyuan.

Di segi pergaulan internasional, AS pun mulai “dilupakan” beberapa negara termasuk sekutu dekatnya. Sebut saja Arab Saudi yang tiba-tiba membina hubungan kembali dengan Iran, di bawah mediasi China, sebagaimana diberitakan Reuters dan AFP.

Belum lagi Prancis, usai Presiden Emmanuel Macron menemui Presiden China Xi Jinping pekan lalu. Macron mengatakan Eropa harus mengurangi “ketergantungannya” pada AS.

Eropa, tegasnya, harus menghindarkan diri dari terseret ke dalam konfrontasi antara AS dan China atas Taiwan. Macron, dimuat Politico, menekankan teori “otonomi strategis” untuk Eropa, yang mungkin dipimpin oleh Prancis untuk menjadi negara adikuasa ketiga.

Akankah Hegemoni AS Runtuh?

Percaya atau tidak, sebenarnya sejarawan terkenal AS, Alferd McCoy pernah memprediksi “kekaisaran” Amerika akan runtuh di 2017. Hal ini bahkan dikatakannya sejak Donald Trump menjadi Presiden AS.

Dimuat Big Think, ia mengatakan terpilihnya Trump sebagai “gejala” melemahnya AS. Trump, ujarnya, mempercepat penurunan AS.

“Abad Amerika … mungkin sudah compang-camping dan memudar pada tahun 2025 … bisa berakhir pada tahun 2030,” kata McCoy.

Menurutnya kenaikan harga, upah yang stagnan dan daya saing internasional yang mulai pudar akan datang. Ia menyalahkan puluhan tahun defisit yang tumbuh karena “peperangan yang tak henti-hentinya dilakukan AS di negeri-negeri jauh”.

“Pada tahun 2030, dolar AS akan kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dominan dunia, menandai hilangnya pengaruh kekaisaran,” tambahnya penulis buku “The Politics of Heroin” tersebut.

Perubahan ini akan mendorong kenaikan harga yang dramatis untuk impor Amerika. Biaya perjalanan ke luar negeri untuk turis dan pasukan AS juga akan meningkat.

“Seperti negara adidaya yang memudar yang tidak mampu membayar tagihannya, Amerika kemudian akan terus ditantang oleh kekuatan seperti China, Rusia, Iran, dan lainnya untuk menguasai lautan, ruang angkasa, dan dunia maya,” ujar pengarang “In The Shadow of the American Century: The Rise and Decline of US Global Power” ini.

Runtuhnya Marshall Plan dan Muncul “Raja” Baru

Dalam artikel lain, kolumnis Unherd, Thomas Fazi, juga menyoroti runtuhnya Marshal Plan AS. Dokumen itu adalah “kunci” yang membawa AS perkasa hingga 75 tahun terakhir ini.

Marshall Plan yang ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Harry S. Truman membuat Washington mengirim miliaran dolar bantuan ekonomi untuk membantu membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia II. Ini meletakkan dasar bagi terciptanya aliansi saling menguntungkan, saat AS menawarkan Eropa beberapa dekade kemakmuran ekonomi dan keamanan militer.

“Amerika menjadi negara besar pertama yang memberi makan dan mendukung yang ditaklukkan,” tulis Fazi mengutip Truman.

Namun situasi saat ini berbeda. Menurutnya, di bawah Presiden Joe Biden Biden, Amerika mengejar kebijakan ekonomi isolasionis dan kebijakan luar negeri kaku, yang bertentangan dengan kepentingan vital Eropa.

Eropa kini mengalami penurunan produksi industri secara besar-besaran sementara pemerintah terpaksa membayar tagihan energi sebesar ratusan miliar euro sebagai akibat dari keputusan mereka untuk mengikuti strategi AS di Ukraina karena persoalan perang Rusia. Kerusuhan pecah di Prancis misalnya, dengan alasan inflasi dan kenaikan gaji.

“Dalam korteks ini, mengapa Eropa harus tetap berlabuh ke AS?” tanyanya.

Dikatakannya pula konflik di Ukraina telah mempercepat munculnya tatanan internasional baru. Di mana dominasi Amerika kehilangan daya tariknya.

Tindakan AS di Ukraina telah menyatukan dua musuh terbesarnya, yakni Rusia dan China. Di mana bersama dengan India, Arab Saudi, Turki, Brasil, Afrika Selatan, dan lusinan negara lain memunculkan negara blok perdagangan dinamis, yang AS bukan bagiannya,

“Hanya dalam beberapa hari terakhir, dua peristiwa penting memberikan dorongan lebih lanjut untuk tren ini,” ia mencontohkan.

“Brasil dan China mencapai kesepakatan untuk berdagang menggunakan mata uang mereka sendiri daripada dolar AS. Sementara perusahaan minyak nasional China CNOOC dan TotalEnergies Prancis menyelesaikan perdagangan LNG pertama China diselesaikan dalam yuan,” tambah penulis buku “The Covid Consensus” itu.

“Semuanya menunjuk pada meningkatnya isolasi AS dari seluruh dunia, dan penurunan dramatis dalam pengaruh dan kemampuannya untuk mengekstraksi sumber daya yang kemudian dapat didistribusikan ke negara-negara protektoratnya,” tambahnya lagi.

“Dengan kata lain, Marshall Plant Amerika telah hilang dan sebagai gantinya, China berharap Belt and Road Initiative (BRI) miliknya akan menjadi mesin ekonomi baru dari blok pasca-Barat,” tutupnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*