Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat nilai rata-rata transaksi harian perdagangan saham dari semua sekuritas pada periode Januari hingga April 2023 senilai Rp 10,275 triliun. Nilai tersebut anjlok 30,13% dibandingkan tahun 2022 yang sebesar Rp 14,706 triliun.
Sementara, rata-rata nilai transaksi harian Bursa pekan ini mengalami perubahan sebesar 2,14% dibandingkan dengan pekan lalu, yaitu menjadi Rp 10,164 triliun dari Rp 10,387 triliun.
Analis yang juga Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan banyak faktor https://188.116.26.232/ yang memengaruhi lesunya transaksi pasar saham Indonesia, mulai dari faktor eksternal seperti ancaman resesi global hingga penurunan daya beli masyarakat.
“Banyak sekali sentimen (negatif). (Meski) Banyak emiten yang memiliki kinerja fundamental positif. Bisa (dilihat) ke belakang untuk beberapa timeline, ini kan dari Januari hingga April (2023),” ujarnya saat dihubungi oleh CNBC Indonesia, Rabu (17/5).
Menurutnya, sejak awal tahun 2023 pasar saham dibayangi oleh ancaman resesi global di mana angka inflasi di sejumlah negara naik secara signifikan. Hal itu membuat para investor mengambil sikap wait and see atau waspada.
“Kita akui di awal tahun saja kondisi global dihadapi penempatan kapabilitas resesi. Kita akui komoditas pun mengalami tren penurunan, misal dialami oleh batubara. Faktor global resesi ini salah satu faktor yang utama disebabkan terjadinya kinerja saham di Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, kebijakan The Fed dan fenomena bank global yang bangkrut menyelimuti awan gelap bagi investasi pasar saham. Para investor akhirnya lebih memilih untuk menempatkan dananya ke instrumen investasi yang berisiko rendah seperti obligasi dan emas.
“Pelaku investor waktu itu cenderung mencermati misalnya obligasi yang memang memberikan return yang pasti dengan tingkat risiko minim. Ini salah satu instrumen pilihan di tengah kekhawatiran resesi global. Di sisi lain , emas mengalami uptrend. karena instrumen emas bersifat safe heaven bagi investor dimana terjadi ketidakpastian global terkait komoditas dan resesi,” ungkapnya.
Sementara, dari dalam negeri, selain karena banyak hari libur nasional, konsumsi dan daya beli masyarakat pada momentum hari raya pun tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya. Dia menilai masyarakat cenderung bersikap moderat dalam berbelanja.
“Saya ingat konsumsi Ramadan agak lebih moderat dibanding tahun-tahun sebelumnya, sehubungan dengan tren kenaikan inflasi di tanah air akibat inflasi secara global,” sebutnya.
Sementara, Chief Analyst DCFX Futures Lukman Leong juga mengatakan hal yang senada, peralihan pemilihan instrumen investasi menjadi penyebab transaksi di pasar modal cenderung menurun.
“Banyaknya liburan salah satunya. Selain itu, investor juga terlihat mengalalihkan portofolio ke SBN. Permintaan yang tinggi pada obligasi pemerintah Indonesia, membawa imbal hasil obligasi terus turun. Boleh dibilang begitu juga. Investor cenderung menghindari saham dan lebih tertarik pada SBN,” kata dia.
Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus mengatakan, selain karena faktor libur nasional dan hari raya, saat itu ada perlambatan pertumbuhan ekonomi di Amerika dan China.
Apalagi IMF juga mengeluarkan peringatan bahwa prospek pertumbuhan ekonomi juga mengalami penurunan selama 5 tahun ke depan
“Tidak hanya itu saja, lebaran kali ini memang merupakan lebaran all out untuk pertama kalinya. Sehingga kalau kita perhatikan, dengan 14 hari kerja yang tersaji, membuat ruang transaksi memang semakin mengecil yang dimana mengakibatkan total transaksi bulan April turun -7.69%,” pungkasnya.